News Update :

Entri Populer

Rencana Rehab Gedung DPRD Kab. Bogor Rp. 5 M Menuai Kritik

Rabu, 21 November 2012 08.36



Rencana rehab gedung DPRD Kab. Bogor untuk merenopasi ruang Sidang Paripurna sebesar RP. 5 Milyar pada TA. 2013, menuai kritik dari kalangan anggota DPRD setempat.

Hingga detik akhir
menjelang penyelarasan oleh Badan Anggaran, Rabu (21/11), belum semua Fraksi menyatakan setuju atas usulan anggaran yang dinilai tidak realistis tersebut.

Salah satunya Fraksi PDIP yang tetap menyatakan menolak, "Lebih baik anggaran yang Rp. 5 Milyar tersebut dalokasikan ke sektor lain yang lebih dibutuhkan, diantaranya bangunan sekolah, atau puskesmas pembantu di perbanyak yang masih sangat dibutuhkan rakyat Kab. Bogor ," ujar Edison Hutahean, anggota Badan Anggaran DPRD Kab. Bogor mewakili Fraksi PDIP.

Apalagi Masih kata Edison, sepengamatannya selama ini di Dapil satu saja yang merupakan pusat ibukotanya Kab. Bogor masih banyak sekolah, dan  fasilitas umum yang tidak layak. Contohnya SDN Cipayung di Kelurahan Tengah, Kecamatan Cibinong yang terancam akses jalan sekolahnya ditutup karena tanahnya milik orang lain, dan SDN Nanggewer Tiga, Kel. Nanggewer sekolah seperti kandang ayam.

"Dana Rp. 5 M itu bisa untuk membangun 10 SD dan dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat," tegas Edison.

Dia menambahkan, Gedung yang sekarang ini masih layak dan cukup dana pemeliharaan saja, karena dirancang untuk waktu yang panjang.

Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (Lekas) Pembangunan Bogor Raya, Rony Saputra menilai anggaran untuk rehab gedung atau renovasi ruang paripurna tidak realistis disaat situasi Kab. Bogor masih banyak yang harus dibenahi.

"Bukannya kita tidak setuju terhadap rehab atau renovasi gedung dewan, tapi nilainya harus realistis, kalau anggaran sebesar Rp. 5 Milyar berarti kan anggaran membangun gedung baru, kalau untuk rehab saja saya kira dengan anggaran Rp. 1 Milyar sampai dengan Rp. 2 Milyar sudah lebih dari cukup," ujar Rony.

MEMORANDUM

08.11



MEMORANDUM
PEMBENTUKAN LEMBAGA KAJIAN STRATEGIS
(LEKAS)
PEMBANGUNAN BOGOR RAYA

1. PENDAHULUAN          

Dengan landasan niat dan sikap yang bersumber dari tingkat kepedulian yang tinggi, setelah memperhatikan realita yang selama ini terjadi di wilayah Bogor dan sekitarnya, sehingga dipandang perlu untuk menyikapi, mensiasati, dan mencari penyelesaian dari setiap persoalan dan tantangan yang sedang maupun yang akan dihadapi masyarakat dan pemerintah Bogor kedepan.

Maka dalam kaitan ini, telah terdapat kesepahaman kami untuk membentuk sebuah lembaga yaitu ”Lembaga Kajian Strategis (LEKAS) PEMBANGUNAN BOGOR RAYA”, sebagai perpaduan dari berbagai unsur tim intelektual yang dibentuk dengan tujuan yang bersifat ideal, agar menjadi lembaga penghela Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota agar dapat secara mantap, aman, tenang, dan tanpa gangguan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan mandat pembangunan masyarakat.

Dewasa ini, persoalan pembangunan dan problema masyarakat Kabupaten dan Kota Bogor sangatlah kompleks. Baik persoalan pendidikan, kesehatan, tenaga kerja dan pengangguran, perekonomian, infrastruktur, tata ruang, kesemrautan penataan pasar tradisional dan kemacetan lalulintas, anicaman tindak kriminal dan penggunaan narkoba, kerusakan lingkungan, serta dekadensi moral generasi muda dan tantangan sosial keagamaan yang cukup berat dan serius.

Pada era otonomi daerah saat ini, faktor yang dapat menunjang keberhasilan pembangunan Bogor Raya saat ini dan kedepan, tidak terlepas dari 4 (empat) faktor. Pertama ; terwujudnya peningkatan partisifasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Kedua ; terwujudnya transformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik. Ketiga ; figur seorang pemimpin yang memiliki kompetensi dan kedekatan dengan semua lapisan masyarakat. Keempat ; pengelolaan sumberdaya ekonomi secara profesional.

Kehadiran LEKAS - P Bogo Raya, diharapkan dapat mengambil peran strategis dalam pembangunan Bogor kedepan, dengan melakukan berbagai kajian strategis sejalan dengan isyu-isyu pokok masalah pembangunan di Kabupaten maupun di Kota Bogor yang mencuat selama ini. Diantaranya, pada bidang Ekonomi ; (masih rendahnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, penerimaan hasil daerah belum maksimal, belum terjangkaunya pemerataan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat).  Politik ; (peran partai politik belum optimal, potensi konflik masih besar). Hukum ; (penegakan supremasi hukum belum sepenuhnya berjalan, masih tingginya pelanggaran hukum, pembinaan oleh aparat penegak hukum sangat lemah, masyarakat sadar hukum masih sangat kurang, soaialisasi peraturan perundangan masih sangat lemah). Pendidikan ; (mutu pendidikan rendah, biaya pendidikan masih mahal dan belum sanggupnya pemerintah berkomitmen membebaskan biaya pendidikan, korupsi birokrasi pendidikan masih sangat tinggi, lambannya penuntasan buta aksara, lambannya penuntasan Wajar Dikdas 12 tahun). Kesehatan ; (ancaman penyakit menular masih tinggi, banyak daerah endemis penyakit belum tertangani, biaya kesehatan tinggi dan belum terjangkau masyarakat, ancaman HIV/AIDS makin luas, rendahnya pelayanan dan animo masyarakat untuk memenfaatkan pengobatan di Puskesmas, korupsi birokrasi kesehatan masih terjadi). Lingkungan Hidup ; (kerusakan alam seperti situ, sungai, hutan, dan perbukitan masih terus berlangsung, pencemaran tanah, air, dan udara belum tertangani dengan baik, ancaman kerusakan alam terus terjadi). Hankam ; (kriminalitas cenderung makin tinggi, peredaran dan penggunaan narkoba masih meluas, ancaman penyelundupan terbuka). Tenaga Kerja ; (pengangguran masih tinggi, ancaman PHK makin tinggi, perhatian pemerintah pada tenaga kerja masih rendah, kasus perburuhan masih tinggi). Soaial dan Agama ; (PSK dan anak jalanan belum tertangani dengan baik, potensi pertikaian masyarakat masih ada, dekadensi moral, pornografi dan sex bebas dikalangan remaja dan generasi muda, pembinaan keagamaan masih belum optimal). Dan persoalan-persoalan lain sejalan dengan dinamika masyarakat yang terus terjadi.

Sangat disadari, bahwa posisi strategis jabata Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota Bogor kedepan akan menghadapi tantangan berat, baik politis, sosial, ekonomi, maupun secara moral dan spiritual. Sehingga diperlukan adanya sebuah lembaga kajian yang dapat mendukung agar Bupati dan Wakilnya serta Walikota dan Wakilnya benar-benar dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara aman, dan sukses bagi kemajuan masyarakat Bogor kedepan tanpa ada rongrongan yang berarti secara politis, sosial, maupun moral.

II. TUJUAN

Tujuan didirikan LEKAS Bogor Raya ini, adalah :
  1. Merupakan kelompok kajian ilmiah dan kritis, yang bergerak dalam bidang konsultasi dan fasilitasi personal publik dibidang program kebijakan dan perencanaan pembangunan, pelayanan publik, ekonomi, bisnis, perdagangan, tenaga kerja, politik, dll
  2. Membantu menjaring aspirasi dan masukan dari seluruh stokeholder pembangunan untuk kepentingan pembangunan Bogor oleh dinas instansi terkait.
  3. Memberi masukan, saran, pendapat, kritik dan koreksi bagi Bupati dan Walikota berikut jajarannya dalam berbagai bentuk, sesuai persoalan dan kebutuhan aktual di lapangan.
  4. Menyalurkan harapan, keinginan, cita-cita stokeholders maupun penentu kebijakan di Bogor dalam penjabaran program aksi yang menyentuh langsung ke masyarakat sampai akar rumput (grassroot) secara menyeluruh.
  5. Memfasilitasi berbagai kepentingan, kebutuhan, dan penugasan khusu dari penentu kebijakan baik, eksekutif, legislatif, dinas dan instansi serta lembaga lain, maupun dari masyarakat umum yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, penyusunan program pembangunan melalui hasil penjaringan aspirasi dan kajian yang konprehenshif.
  6. Bekerjasama dengan para ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan semua stokeholders pembangunan di Bogor, menyusun program aksi strategis bagi kepentingan pembangunan Bogor yang dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
  7. Dapat mengembangkan diri melalui unit layanan dan kepanjangan tangan lembaga pada tingkat Kecamatan dan atau Desa/Kelurahan di seluruh Bogor maupun tempat lainnya yang disepakati sesuai kepentingan aktual di lapangan.

III. PRINSIP

Prinsip-prinsip yang dijalankan LEKAS Pembangunan Bogor Raya adalah :
  1. Berpegangan pada komitmen moral dan etika yang dianut masyarakat Bogor.
  2. Menjalin kerjasama dan keutuhan masyarakat Bogor yang heterogen.
  3. Mengedepankan jiwa pengabdian dan loyalitas yang tinggi bagi kepentingan masyarakat dan kemajuan Bogor.
  4. Tidak menimbulkan rongrongan bagi Bupati maupun Walikota serta tidak mengganggu kebijakan keduanya yang berpijak pada kepentingan masyarakat luar dan kemajuan Bogor umumnya.
  5. Mengutakan kemampuan profesional dan hubungan kelembagaan kedalam maupun keluar lembaga, serta siap bekerjasama sesuai prioritas program.
  6. Jujur dan transparan dalam setiap kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
  7. Aspiratif dan responsif terhadap berbagai masukan, saran, pendapat, dari seluruh stokeholders pembangunan Bogor.
  8. Tidak alergi kritik yang dapat mengoreksi kekeliruan personil dan kelembagaan sesuai mekanisme yang berlaku.
  9. Mengedepankan sikap kritis namun objektif dan tidak anarkis, serta arogan dalam menjalankan tugas-tugas pekerjaan.
  10. Secara khusus memiliki komitmen untuk mengawal, mengawasi dan mengkritisi, serta memberi masukan terkait pelaksanaan program andalan, ”Bebas” dari segala aspek yang telah direncanakan Bupati maupun Walikota sehingga dapat berjalan lancar, epektif dan mencapai sasaran.

IV. BIDANG KAJIAN STRATEGIS

Bidang kajian strategis yang menjadi fokus LEKAS Pembangunan Bogor Raya, diantaranya adalah :
  1. Bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan pembangunan serta aspek yang terkait dengan pelaksanaan program tersebut di dalamnya.
  2. Bidang layanan  publik, perencanaan anggaran dan program dinas instansi, kelembagaan, Ormas, OKP, LSM, Pers, termasuk penetapan personil dan penataan yang terdapat didalamnya.
  3. Bidang politik, hukum, keamanan dan persoalan lain terkait dengan rasa aman, nyaman, tenang, dan tertib dalam masyarakat.
  4. Membuka diri, mengembangkan kajian  kritis dan objektif pada bidang lain yang sejalan dengan visi misi LEKAS Pembangunan Bogor Raya, dengan tetap berpegang teguh pada tujuan awal didirikannya lembaga kajian ini, sejalan dengan perkembangan dan aktualisasinya di masyarakat Bogor.

                                                                                       Bogor, 5 September 2009

Korupsi Milik Kita Semua

Senin, 19 November 2012 22.44


Oleh : Emha Ainun Nadjib
Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita.
Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?
Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai Kaum Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain sebagai “tebang pilih”.
Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat yang kecenderungannya adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam” dirinya sendiri: mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya. Itu “teknologi internal”.
Ada hipotesis yang mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum atau karakteristik kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah sepanjang Nusantara. Pelan-pelan, berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis, menyimpulkan, mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang membuat kehidupan manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung, pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan yang manapun saja. Tidak hanya transportasi yang ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini sangat menggambarkan produk “teknologi eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental, didukung oleh aktivitas emosi dan sedikit intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan, pengolahan, eksplorasi, atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara kita menganggap dan memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai soal lain di luar makanan. Di dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.
Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat Indonesia berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh” lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa ketergantungan yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo.
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?
Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu keluaran dari kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan masyarakat Indonesia hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya—di belakangnya.
Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung karena tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan total atau revolusi.
Tetapi kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan manusia.
Sindroma Garuda-Emprit
Agar supaya kita tidak terlalu “bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita.
Untuk itu “iseng-iseng” kita mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi sederhana bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat, mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya.
Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal. Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang harus diperdebatkan terlebih dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai: setelah ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun “Ajisaka” 20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin lain yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan (yang boleh jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya: Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya sebagai “kita”. Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang melahirkan 1945? Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit, Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi Seribu. Kitalah fosil manusia tertua dalam sejarah umat manusia di dunia di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi sesudah Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi era sejarah primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-puluh abad hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku Gus Dur, dan suku Muhaimin. Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana konotasi?
Yang menguasai keuangan internasional, sistem global dan mekanisme pasar (:Neo-Liberalisme, IMF, Kongress AS, Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim. Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan Tahiyat Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul Muhammad Saw tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan keluarganya. Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.
Adapun “Masyarakat Nusantara” ini keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab, atau Melayu Jawa? Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa depan kita di abad 21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti harus ada pola strategi jangka pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus rapuh, terpecah belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain, seperti yang terjadi hari ini. Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika saatnya nanti diperlukan.
Ini semua pertanyaan denotatif atau konotatif?
Kalau umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang membuat NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk secara amat canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri.
Kok Iblis segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara denotatif? Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada hubungannya dengan Setan dan Jin?
Kalau dilihat dari posisi-kosmis, kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa Nusantara” yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa manapun di muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang menyerahkan rakyat dan kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi, yang dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng, dan penakut”.
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?
Ketangguhan Yang “Mencelakakan”
Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan” kita.
Norma, Hukum, dan Moral
Tentu saja, bangsa dengan bakal internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita tak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah “orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena demikianlah juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit tenang.
Faktornya di sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu nilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut mengacungkan tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang banyak.
Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan, demokrasi, otda pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner hingga membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa Kata Dunia, hare gene…”
Multikorupsi
Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas “kawulo”, masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga karena sejak semula mereka juga diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima lamaran kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil satu kata kerja: lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan dan memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah niat dan maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi Presiden, mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun. Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh.
Sumber :  infokorupsi.com

Dugaan Kasus Korupsi Pasar Ciawi Hilang Bak Ditelan Bumi

22.29


Pasar Tradisional Ciawi Kab Bogor

Berita dugaan tindak pidana korupsi pasar ciawi yang pernah ramai dibincangkan, namun tidak pernah ada kelanjutan, hilang bak ditelan bumi
Bogor - Dugaan adanya tindak pidana korupsi terkait ‘kisruh’ Pasar Ciawi semakin terang. Selasa, empat pejabat Pemkab Bogor diiterogasi oleh penyidik Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Cibinong. Mereka itu, Kepala Dinas Perizinan Terpadu Sarifah Sopiah, staf camat Ciawi, mantan Camat Ciawi Zaenal dan Kabag Organisasi Pemkab Bogor yang dulu menjabat Kabag Hukum Isvandiar.
Keempatnya dicecar 40 pertanyaan terkait retribusi dan pembangunan Pasar Ciawi. Salah satu pemeriksanya adalah Kasi Pidsus Gunadi. Ia memeriksa Kepala Dinas Perizinan Terpadu Sarifah Sopiah. Menurut Gunadi, keempat saksi itu diperiksa kurang lebih lima jam. Mulai Pukul 09:00 hingga 14:00. Nmaun dia menolak menjelaskan seputar pemeriksaan. “Yang pasti, dengan diperiksanya keempat orang ini, perkara Pasar Ciawi kini sudah makin terang,” ujarnya serya menyebutkan semua yang telah diperiksa, statusnya belum ada yang tersangka.
Sedangkan Kepala Kejari Cibinong Sendjun Manullang mengungkap adanya dugaan korupsi sebesar Rp 248 juta di Pasar Ciawi, terkait penyelenggaraan retribusi parkir. Hingga saat ini, beberapa saksi telah dimintai keterangan, termasuk Kepala PD Pasar Tohaga Cahya Vidiadi. “Kami menduga adanya korupsi dalam pengelolaan parkir yang nilainya mencapai Rp 248 juta,” ujaranya serya menyebutkan selain sejumlah pejabat Pemkab, pihaknya akan memanggil saksi dari pengembang Pasar Ciawi, PT Fortunindo Artha Perkasa.
Adanya keterlibatan sejumlah pejabat Pemkab Bogor dalam kasus ini diakui Kepala Bagian Hukum E. Rupali. Menurutnya, ada delapan pejabat yang telah mendapatkan surat pemanggilan dari Kejari Cibinong. Pemeriksaan ini akan berlangsung hingga Rabu (21/7) mendatang,” ujar Rupali.
Sementara itu, Kamis (16/7) lalu, Kejari telah memeriksa tiga orang saksi diantaranya memeriksa Direktur PD Pasar Tohaga Cahya Vidiadi, Kepala Badan Pembangunan Setda Pemerintah Kabupaten Bogor Joko Pitoyo, dan mantan Kepala Unit Pasar Ciawi 2008 Miki Geger Pramayon. (iwan/dms)
Sumber: Poskota, Selasa, 20 Juli 2010

Alokasi dan Realisasi Dana Transfer 2012 Kab. Bogor

22.09

Alokasi dan Realisasi Dana Transfer 2012

Kab. Bogor

Dalam ribuan rupiah
Uraian Jenis Transfer
PaguRealisasi
Dana Bagi Hasil (DBH)
109,603,172 73,651,611
- Pajak
64,586,07249,255,440
- SDA
43,284,391 23,529,817
- Cukai
1,732,709 866,355
Dana Alokasi Umum (DAU)
1,672,614,1421,393,845,120
Dana Alokasi Khusus(DAK)
158,027,77047,408,331
Dana Penyesuaian
263,590,831197,693,123
Otonomi Khusus (OTSUS)
00
J u m l a h
2,203,835,9151,712,598,186
  Catatan : Realisasi Transfer ke Daerah TA 2012 : Data dari 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Oktober 2012

Hasil Kajian BAKN DPR Atas Audit Hambalang

21.57


Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR, Eva Kusuma Sundari mengungkapkan hasil telaah BAKN atas audit proyek Hambalang di Bogor. Sepakat dengan Badan Pemeriksa Keuangan, BAKN pun menemukan penyimpangan pada megaproyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Kementerian Pemuda dan Olahraga itu.
BAKN menyimpulkan bahwa setelah vakum sejak 2004, titik tolak proyek P3SON Hambalang dimulai kembali setelah Ses Menpora dijabat Wafid Muharam. Sementara, Tim Asistensi mempresentasikan rencana pembangunan Proyek Hambalang di Cilangkap yaitu di rumah kediaman menteri AAM berdasarkan permintaan AAM.

Atas petunjuk AAM, PPPON selanjutnya dikembangkan menjadi P3SON dengan disusun kembali Kerangka Acuan Kerja yang baru di awal tahun 2010. Dalam KAK yang baru masukan AAM adalah penambahan asrama atlet senior, amphitheatre, sport extreme, dan lainnya.

"BAKN juga menemukan penyimpangan yang perlu mendapat perhatian khusus," kata Eva, Rabu 14 November 2012.

Secara ringkas indikasi penyimpangan dan orang yang diduga terkait dengan penyalahgunaan kewenangan versi BAKN adalah sebagai berikut:

1. RY (Bupati Bogor), SS Kepala Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, BU Kepala Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, YH Kepala Dinas Tata Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor, AAA PPK kegiatan studi Amdal.
SssssSu Mereka di atas, secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dalam penerbitan Izin Lokasi, Site Plan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan P3SON yang berlokasi di Desa Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor.

Meskipun Kemenpora selaku pemohon belum melakukan studi Amdal atas rencana pembangunan tersebut. Hal ini terbukti dari DN (Direktur PT CKS) sebagai pemegang kontrak Amdal tidak pernah melakukan studi Amdal, padahal telah menerima pembayaran hak terdahulu yang diduga palsu.

2. AAM Menteri Pemuda dan Olahraga, WM Sekretaris Kemenpora, dan DK Kepala Biro Perencanaan Kemenpora dan Pejabat Pembuat Komitmen, secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dalam menyampaikan permohonan kontrak tahun jamak kepada Menteri Keuangan.

GH Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian PU, dan DP Pengelola teknis Kementerian PU, secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dalam memenuhi persyaratan untuk diajukan menjadi tahun jamak.

3. ADWM Menteri Keuangan, AR Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, DPH Direktur Anggaran II Kementerian Keuangan, S Kasubdit II E Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan, RH Kasie II E-4 Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan, dan AM Staf Seksi II E-4 Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan, secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dalam menetapkan persetujuan kontrak tahun jamak.

4. AAM Menteri Pemuda dan Olahraga, WM Ses Kemenpora, WIM Ketua Panitia Pengadaan Kemenpora, J Anggota Panitia Pengadaan Kemenpora, BaS Sekretaris Panitia Pengadaan Kemenpora, RW Staf Biro Perencanaan Kemenpora, MA Komisaris PT MSG, AW Marketing Manager PT MSG,  HaH staf PT YK, AS Direktur PT CCM, Mul Manajer Pemasaran PT CCM, AG staf PT CCM, RH staf PT CCM, RMS staf PT CCM, YS staf PT CCM, MG staf PT CCM, TS staf PT AK, AT serta KS selaku staf PT AK, secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dalam pemilihan rekanan proyek P3SON.

5. RI Kabag Keuangan Kemenpora, TBMN selaku Kepala DK-I PT AK, MS selaku Dirut PT DC, secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dalam pencairan uang muka proyek P3SON.

Akibat penyimpangan dan indikasi penyalahgunaan kewenangan tersebut di atas maka terjadi indikasi kerugian Negara setidaknya sebesar Rp 243.663.748.370,00 yang merupakan pelanggaran Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sementara, BAKN DPR RI merekomendasikan melalui Pimpinan DPR RI sebagai berikut:

1. Meminta KPK menuntaskan penanganan kasus Hambalang yang menyebabkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp243,66 miliar dan kepada PPATK untuk melakukan penelusuran aliran dana tersebut.

2. Selain menyesalkan problem independensi, kebocoran laporan BPK, BAKN meminta BPK segera melakukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana yang dijanjikan pada tanggal 31 Oktober 2012, untuk mengungkapkan kerugian Negara lebih jauh.

3. Meminta Pimpinan Komisi X dan Pokja Anggaran untuk bertanggung jawab atas proses pembahasan dan persetujuan anggaran proyek Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang Bogor, yang awalnya tahun 2010 sebesar Rp 275 miliar menjadi Rp1,175 Triliun pada tahun 2012.

5. Meminta DPR untuk mempergunakan hak bertanya kepada Pemerintah sehubungan terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek P3SON.



"LSM Lekas" Kecam Aksi Premanisme Terhadap Pers

21.48


Ketua Lembaga Kajian Strategis (LEKAS) Bogor Raya, Roni Saputra, menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas terjadinya aksi premanisme terhadap pers yang kembali terjadi belum lama ini, terutama di Bogor belum lama ini.

"Bila pers kerap dihadapkan dengan aksi premanisme maka pertanda akan matinya kehidupan berdemokrasi di negeri kita, apalagi ini menyangkut ketebukaan informasi publik," kata pria berkumis tipis ini.

Menurutnya setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat di akses oleh setiap pengguna. Meskipun informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas, dan itu tidak dibenarkan adanya tindakan yang menghalangi aktifitas pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Dia mengaku sangat prihatin dan mengecam pelaku pengeroyokan wartwan Bogor, Jason Sembiring (40), wartawan Harian Umum Lingkar Jabar saat meliput peristiwa terkait sengketa lahan di Desa Warga Jaya, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Senin (15/10/2012) kemarin.


Keterbukaan Informasi Publik 


Dirinya juga menyoroti keterbukaan informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan secara seksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar dari pada membukanya atau sebaliknya.

"Tujuan keterbukaan informasi publik untuk menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik," tambah dia.

Lebih dari tiu, lanjutnya, keterbukaan informasi publik juga mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Bagi pemerintahan, untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga publik menjadi tahu  alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup Orang banyak.

 

© Copyright News "Lekas-P" Bogor Raya 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.