Oleh
: Emha Ainun Nadjib
Sangat tidak mudah mengambil keputusan
apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga
tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai
“penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam
sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata
menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa
serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau
penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki
“infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada
kehidupan masyarakat kita.
Darah daging itu bisa jadi tak hanya
berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban.
Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output
“kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya
pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara
merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita
bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental,
peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?
Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu,
kita yang di panggung berteriak “Wahai
Kaum Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan
koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status mulia seseorang
dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji publik – tidak
serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran,
jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu
mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai
konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari
potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak
selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain
sebagai “tebang pilih”.
Teknologi
Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin menyebut sebuah term:
“Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat yang kecenderungannya
adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada
jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam”
dirinya sendiri: mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya.
Itu “teknologi internal”.
Ada hipotesis yang mengindikasikan
bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum atau karakteristik
kemanusiaan atau budaya masyarakat di
wilayah sepanjang Nusantara. Pelan-pelan, berikut ini,
mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya
dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad
20-21 adalah puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis,
menyimpulkan, mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang membuat
kehidupan manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung,
pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan yang manapun
saja. Tidak hanya transportasi yang ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi
bahkan kekhusyukan shalatpun mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh
pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini sangat menggambarkan produk
“teknologi eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah
suatu inisiatif mental, didukung oleh aktivitas emosi dan sedikit intelektual,
di mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan, pengolahan,
eksplorasi, atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak
tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara kita
menganggap dan memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai
soal lain di luar makanan. Di dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang
bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh
kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.
Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa
rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor,
tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan
minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah,
Cak”.
Ahli Statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat dan
makanan utama Bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang
terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem
budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat Indonesia berteriak beberapa
hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan jenis-jenis kebobrokan
lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua bulan,
akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh” lagi: menjalani penghidupan
sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa ketergantungan yang signifikan
dan tidak perduli-perduli amat kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya
Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo.
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok
harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak punya ambisi, berani
kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau
di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon
yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan
cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?
Pupusnya
Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu keluaran dari kebiasaan
teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan masyarakat Indonesia
hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu
sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah
dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana
substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang
dibalik batu” atau apapun namanya—di belakangnya.
Kalau ia berlaku pada denotasi
penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap
“daging”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut
“kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan
sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para
penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan
konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung karena tingkat kemiskinan dan
penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan total atau
revolusi.
Tetapi kalau yang berlaku adalah
denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”,
“korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi
merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak
pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”,
denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran,
Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya
yang bisa hancur hanya kehidupan manusia.
Sindroma
Garuda-Emprit
Agar supaya kita tidak terlalu
“bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh
ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita.
Untuk itu “iseng-iseng” kita
mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi sederhana bahwa
kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu
tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita
berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan
yang kita alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang
memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas mengenalnya,
maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa penyakit yang sedang
dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat, mustahil pula ia akan bisa
menyembuhkan diri dari penyakitnya.
Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati
sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal. Misalnya, sebelum “ada”
Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang harus diperdebatkan terlebih
dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu”
berbeda pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai:
setelah ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun
“Ajisaka” 20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun
riset antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin
lain yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai “iseng-iseng” ini dari
sejumlah pertanyaan
(yang boleh jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang
“salah”) misalnya: Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan
“Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya sebagai “kita”. Pertanyaannya:
“kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang melahirkan 1945? Kalau “kita”
yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka
tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno,
Kutai, Majapahit, Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan
paradigma Candi Seribu. Kitalah fosil manusia tertua dalam sejarah umat manusia
di dunia di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi
sesudah Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi era
sejarah primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil,
berpuluh-puluh abad hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada
Suku Ahmadiyah, suku Gus Dur, dan suku Muhaimin. Dari semua kata itu yang mana
denotasi yang mana konotasi?
Yang menguasai keuangan internasional,
sistem global dan mekanisme pasar (:Neo-Liberalisme, IMF, Kongress AS,
Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat
kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi
Ismail dan Nabi Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi)
dengan induk Nabi Ibrahim. Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir
kenapa dalam bacaan Tahiyat Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan
kepada Rasul Muhammad Saw tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As
dan keluarganya. Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi
kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.
Adapun “Masyarakat Nusantara” ini
keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan
Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari
Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab,
atau Melayu Jawa? Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk
mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada
pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa depan kita di abad 21 ini
mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang dari mata dan
kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti harus ada pola strategi jangka
pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa Nusantara”: NKRI harus dipastikan
bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu memastikan
bahwa NKRI harus rapuh, terpecah belah, saling benci dan bermusuhan satu sama
lain, seperti yang terjadi hari ini. Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi
Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika saatnya nanti diperlukan.
Ini semua pertanyaan denotatif atau
konotatif?
Kalau umpamanya ternyata “Bangsa
Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu
dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang
ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi
jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang membuat NKRI makin hari
makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan
Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar sana untuk hancur: bangsa
Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk secara amat canggih sanggup
menghancurkan dirinya sendiri.
Kok Iblis segala? Pernahkah Iblis
dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara denotatif? Ataukah kita
sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada
hubungannya dengan Setan dan Jin?
Kalau dilihat dari posisi-kosmis,
kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa Nusantara” yang
sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa manapun di muka
bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang menyerahkan rakyat dan
kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah Indonesia
sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi, yang dengan sangat cemerlang mampu
mengubah “Garuda Perkasa Bangsa Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil,
cengeng, dan penakut”.
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan
“Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?
Ketangguhan
Yang “Mencelakakan”
Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia
sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga
sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai
masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk
ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa
yang sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya
bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di
dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula,
teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai,
hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor
Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif
kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi
kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak
milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015
memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup
normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari
dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita
sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak
fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri
tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu.
Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme)
adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala
penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita
tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar,
total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh,
kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh
sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa
sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di
dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu
manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse
oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong
Negara untuk tidak collapse
pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara
hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang
tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini
“mencelakakan” kita.
Norma,
Hukum, dan Moral
Tentu saja, bangsa dengan bakal
internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak bisa sepenuhnya menerapkan
keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita tak punya motor, mobil, rumah
bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan,
hedonisme, gebyar dan gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak
sengaja tergeser dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung
ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil korupsi, kita memperoleh
berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi
orang lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita
bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah
“orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada
mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang
sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan bahwa kita korup itu
menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan.
Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin,
langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita
merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan
umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena demikianlah juga yang dilakukan
oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit tenang.
Faktornya di sini, budaya kita lebih
mengandalkan norma
dibanding hukum
atau moral.
Hukum dan moral itu nilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung
kesepakatan atau kebiasaan banyak orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah
bubar dan banyak orang lain mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah
satu dan kemudian turut mengacungkan tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral dan
hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang
banyak.
Alif
Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang
nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh
orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan, demokrasi, otda
pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner hingga
membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa Kata Dunia, hare gene…”
Multikorupsi
Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan
Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya
dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden,
dengan “uborampe”
(kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok
yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang
jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi,
karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan
“Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem”
dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak
pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam
kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap
asor”
atau inferioritas “kawulo”, masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut”
atau “segan”, juga karena sejak semula mereka juga diam-diam berikhtiar
bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima
lamaran kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka
kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa
kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari
budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen
sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan
harta Negara, kita sudah melakukan korupsi
iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang
sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan,
juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan
kewaspadaan, demi kebangkitan
atau totalnya kehancuran
kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil satu kata kerja: lihatlah seberapa
“sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan dan memaksudkan “kata kerja” itu.
Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita kerjakan adalah “a”, dan kalaupun
memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah niat dan maksud kita
sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan yang
lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi
Presiden, mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun. Kunci kehancuran kita
sangat boleh jadi adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh.
Sumber :
infokorupsi.com